BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar belakang
Ekosistem hutan mangrove
merupakan kawasan hutan di wilayah pantai. Ekosistem hutan ini tersusun oleh
flora yang termasuk dalam kelompok rhizoporaceae, combretaceae, meliaceae,
sonneratiaceae, euphorbiaceae dan sterculiaceae. Sementara itu, pada zona ke
arah darat ditumbuhi oleh jenis paku-pakuan (Acrostichum aureum). Ekosistem
hutan mangrove merupakan tipe sistem fragile yang sangat peka terhadap
perubahan lingkungan, padahal ekosistem tersebut bersifat open acces sehingga
meningkatnya eksploitasi sumberdaya mangrove oleh manusia akan menurunkan
kualitas dan kuantitasnya.
Sementara
itu, ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar
antara lain reptil dan ikan-ikan yang penting secara ekonomis dan bialogis
seperti kakap, bandeng, belanak dan udang. Lebih daripada itu, ekosistem hutan
mangrove sangat mendukung perikanan artisanal. Meskipun merupakan usaha
perikanan skala kecil dan tradisional ternyata memiliki makna ekonomi yang
cukup penting. Fungsi dan peran ekosistem hutan mangrove sangat penting sebagai
tempat untuk memijah, mengasuh anak, berlindung serta mencari makan bagi
berbagai jenis ikan. Oleh karena itu, kelestariannya harus dijaga. Penurunan
kualitas dan kuantitas ekosistem hutan mangrove akan mengancam kelestarian
habitat tersebut dan selanjutnya akan mengancam kehidupan fauna tadi
(Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999a). Untuk meningkatkan dan
melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu
pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat
di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove
secara langsung. Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem hutan
mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem
hutan mangrove secara lestari.
Mina hutan
merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian
kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi
sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat
dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan
jalur hijau di daerah pantai yang kritis (Perhutani, 1993). Dengan pola ini,
diharapkan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara petani penggarap dan
fihak kehutanan. Penerapan kegiatan mina hutan di kawasan ekosistem hutan
mangrove secara umum diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh
masyarakat karena akan memberikan alternative sumber pendapatan bagi masyarakat
di kawasan tersebut.
b.
Tujuan
Berdasarkan
karakteristik lokasi dan analisis masalah disuatu kawasan ekosistem hutan
mangrove serta kaitannya dengan dengan fungsi kawasan, maka pengelolaan dan
pengembangan kawasan ekosistem hutan mangrove dimaksud, termasuk untuk kegiatan
mina hutan (sylvofishery), perlu didasarkan atas azas kelestarian, manfaat dan keterpaduan dengan tujuan :
(1) Menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional,
(2) Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang secara berkelanjutan
(3) Meningkatan daya dukung kawasan, serta
(4) Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial ekonomi.
(1) Menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional,
(2) Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang secara berkelanjutan
(3) Meningkatan daya dukung kawasan, serta
(4) Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial ekonomi.
c.
Sasaran
Sasaran
kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara umum perlu
diarahkan pada empat aspek yaitu:
(1) Mengurangi tekanan terhadap ekosistem hutan mangrove, dalam bentuk:
pengawasan yang ketat terhadap penebangan liar, perburuan liar dan ancaman kerusakan hutan lainnya, menindak petambak liar yang beroperasi, melakukan penataan kawasan.
(2) Revitalisasi fungsi ekosistem hutan mangrove, dalam bentuk: melakukan penghutanan kembali (reforestration) daerah yang telah rusak tegakan mangrovenya, menata dan memperbaiki aliran pasang surut di dalam kawasan yang sudah terganggu
(3) Mengembangkan manfaat sosial ekonomi kawasan, dalam bentuk: menata dan memperbaiki sistem budidaya perikanan yang ada dengan sistem mina hutan mengembangkan program wisata alam ekosistem hutan mangrove yang menarik dan profesional
(4) Merumuskan kembali sistem kelembagaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang menjamin adanya sinergisme antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung fungsi ekologi dan ekonomis kawasan tersebut.
(1) Mengurangi tekanan terhadap ekosistem hutan mangrove, dalam bentuk:
pengawasan yang ketat terhadap penebangan liar, perburuan liar dan ancaman kerusakan hutan lainnya, menindak petambak liar yang beroperasi, melakukan penataan kawasan.
(2) Revitalisasi fungsi ekosistem hutan mangrove, dalam bentuk: melakukan penghutanan kembali (reforestration) daerah yang telah rusak tegakan mangrovenya, menata dan memperbaiki aliran pasang surut di dalam kawasan yang sudah terganggu
(3) Mengembangkan manfaat sosial ekonomi kawasan, dalam bentuk: menata dan memperbaiki sistem budidaya perikanan yang ada dengan sistem mina hutan mengembangkan program wisata alam ekosistem hutan mangrove yang menarik dan profesional
(4) Merumuskan kembali sistem kelembagaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang menjamin adanya sinergisme antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung fungsi ekologi dan ekonomis kawasan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengeloaan
Kawasan Hutan Mangrove yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan
A.
Strategi
pengelolaan kawasan hutan mangrove
Agar strategi pengelolaan kawasan
ekosistem hutan mangrove dengan kegiatan mina hutan dapat diterapkan di suatu
kawasan, maka perlu dilakukan penelaahan mengenai karakter biofisik kawasan dan
analisis permasalahan yang ada di suatu kawasan ekosistem hutan mangrove.
Apabila karakter biofisik dan permasalahan sudah diketahui maka prinsip-prinsip
pengelolaan, azas dan tujuan pengelolaan serta sasaran pengelolaan dapat
ditentukan.
B.
Prinsip
Pengelolaan
Sebagai kawasan hutan prinsip
pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan pengelolaan hutan secara umum.
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi
kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya
maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang. Oleh karena itu hutan harus
dikelola dan diurus, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang akan
datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga
kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia,
olehkarena itu harus dijaga kelestariannya.
Sejalan
dengan jiwa pada pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan kehutanan senantiasa
mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh
karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan azas manfaat dan
lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan serta bertanggung jawab. Dalam
rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi
kesejahteraan rakyat, maka pada aprinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat
dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya
serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya.
C. Rancangan
teknis pengelolaan
Penataan Zona
Adanya sifat open acces pada kawasan ekosistem hutan mangrove maka diperlukan upaya penataan zona di kawasan. Upaya tersebut dimaksudkan sebagai upaya meminimalkan kerusakan dan melestarikan fungsi ekologis dan ekonomis kawasan. Penataan zona disini adalah pembagaian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi zona pemanfaatan dan zona perlindungan atau konservasi.
Adanya sifat open acces pada kawasan ekosistem hutan mangrove maka diperlukan upaya penataan zona di kawasan. Upaya tersebut dimaksudkan sebagai upaya meminimalkan kerusakan dan melestarikan fungsi ekologis dan ekonomis kawasan. Penataan zona disini adalah pembagaian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi zona pemanfaatan dan zona perlindungan atau konservasi.
Reboisasi
Reboisasi diperlukan untuk kawasan ekosistem hutan mangrove yang sudah terlanjur digunakan untuk usaha perikanan tetapi dengan proporsi yang tidak seimbang yaitu 80% tambak dan 20% hutan menjadi sebaliknya dan kawasan mangrove yang terkena abrasi.
Kendala upaya reboisasi di daerah tambak adalah kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter. Pada kedalaman ini bibit bakau akan terapung, tidak akan mampu mencapai media tumbuh yang berupa lumpur. Pengurugan kolam tidaklah mungkin ditinjau dari aspek pembiayaan dan sumber tanah yang sejenis. Suatu jalan pemecahan yang mungkin dilakukan adalah dengan cara menanam bibit bakau dalam bumbung bambu. Bumbung bambu tersebut diisi lumpur kemudian ditanami bibit bakau dan ditancapkan di kolam-kolam.
Adapun kendala reboisasi di daerah abrasi adalah tidak adanya media lumpur yang memadai untuk tumbuh bibit bakau dan daerahnya labil karena selalu terkena ombak. Untuk reboisasi di wilayah ini, terlebih dahulu perlu dilakukan kegiatan prakondisi berupa pengamanan dari pukulan ombak dan penyediaan media tumbuh. Caranya adalah dengan pembuatan “groin” dari batu sepanjang garis pasang surut. Namun pembuatan groin ini memerlukan biaya yang cukup besar. Alternatif lain adalah membuat terucuk bambu yang rapat. Pembuatan groin atau terucuk bambu ini bertujuan untuk menahan lumpur yang terbawa ombak sehingga lama-kelamaan akan tersedia media tumbuh yang sesuai bagi pertumbuhan pohon. Jenis pohon yang cocok untuk daerah yang terkena abrasi adalah api-api (Avicenia sp).
Reboisasi diperlukan untuk kawasan ekosistem hutan mangrove yang sudah terlanjur digunakan untuk usaha perikanan tetapi dengan proporsi yang tidak seimbang yaitu 80% tambak dan 20% hutan menjadi sebaliknya dan kawasan mangrove yang terkena abrasi.
Kendala upaya reboisasi di daerah tambak adalah kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter. Pada kedalaman ini bibit bakau akan terapung, tidak akan mampu mencapai media tumbuh yang berupa lumpur. Pengurugan kolam tidaklah mungkin ditinjau dari aspek pembiayaan dan sumber tanah yang sejenis. Suatu jalan pemecahan yang mungkin dilakukan adalah dengan cara menanam bibit bakau dalam bumbung bambu. Bumbung bambu tersebut diisi lumpur kemudian ditanami bibit bakau dan ditancapkan di kolam-kolam.
Adapun kendala reboisasi di daerah abrasi adalah tidak adanya media lumpur yang memadai untuk tumbuh bibit bakau dan daerahnya labil karena selalu terkena ombak. Untuk reboisasi di wilayah ini, terlebih dahulu perlu dilakukan kegiatan prakondisi berupa pengamanan dari pukulan ombak dan penyediaan media tumbuh. Caranya adalah dengan pembuatan “groin” dari batu sepanjang garis pasang surut. Namun pembuatan groin ini memerlukan biaya yang cukup besar. Alternatif lain adalah membuat terucuk bambu yang rapat. Pembuatan groin atau terucuk bambu ini bertujuan untuk menahan lumpur yang terbawa ombak sehingga lama-kelamaan akan tersedia media tumbuh yang sesuai bagi pertumbuhan pohon. Jenis pohon yang cocok untuk daerah yang terkena abrasi adalah api-api (Avicenia sp).
Pengembangan Mina Hutan
Seperti diuraikan di atas, bahwa perlu adanya zonasi dikawasan ekosistem hutan mangrove salah satunya adalah zona pemanfaatan. Zona pemanfaatan dalam hal ini diperuntukan bagi kegiatan mina hutan (sylvofishery).
Seperti diuraikan di atas, bahwa perlu adanya zonasi dikawasan ekosistem hutan mangrove salah satunya adalah zona pemanfaatan. Zona pemanfaatan dalam hal ini diperuntukan bagi kegiatan mina hutan (sylvofishery).
Penerapan
mina hutan dikawasan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat tetap memberikan
lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri
dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Harapan ini dapat terwujud
dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan perjanjian antara pengelola
tambak dan Dinas Kehutanan, yang antara lain berisi kewajiban bagi pengelola
tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi pengelola tambak
mengingkari kewajibannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di daerah
Blanakan, Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara
lain mnjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Jika
perbandingan hutan dan tambak 50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi
peringatan dan jika perbandingan antara hutan dan tambak mencapai 50% : 50%
ijin pengelolaan dicabut.
Dengan
pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan
tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi per satuan
luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi
bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam
dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh
anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang tinggi dan
menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun
mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty yang dapat mengurangi
keberadaan penyakit ikan dalam tambak. Asumsi ini timbul berdasarkan hasil
wawancara dengan Mantri Hutan pada saat studi banding di Blanakan, bahwa
produksi bandeng dan udang dari kolam yang hutannya cukup baik lebih tinggi
dari lahan tambak yang hutannya tidak baik (terbuka).
Adapun sistem mina hutan yang dapat diaplikasikan adalah
sistem empang parit dan sistem empang inti. Sistem empang parit adalah sistem mina
hutan dimana hutan bakau berada di tengan dan kolam berada di tepi mengelilingi
hutan. Sebaliknya sistem empang inti adalah sistem mina hutan dengan kolam di
tengah dan hutan mengelilingi kolam (Departemen Kehutanan dan Perkebunan,
1999b).
Kelembagaan
Mengingat kepentingan strategis dan kompleksnya permassalahan di kawasan ekosistem hutan mangrove, maka perlu kelembagaan yang jelas yang diberi kewenangan untuk menangani kawasan tersebut secara menyeluruh. Jika selama ini pengelolaan kawasan hutan mangrove diserahkan kepada Dinas Kehutanan, maka diperlukan badan khusus di Dinas tersebut untuk menangani kawasan ekosistem hutan mangrove. Dengan adanya lembaga dimaksud diharapkan tidak ada tumpang tindih kepentingan antara bagian-bagian yang ada di dinas Kehutanan.
Mengingat kepentingan strategis dan kompleksnya permassalahan di kawasan ekosistem hutan mangrove, maka perlu kelembagaan yang jelas yang diberi kewenangan untuk menangani kawasan tersebut secara menyeluruh. Jika selama ini pengelolaan kawasan hutan mangrove diserahkan kepada Dinas Kehutanan, maka diperlukan badan khusus di Dinas tersebut untuk menangani kawasan ekosistem hutan mangrove. Dengan adanya lembaga dimaksud diharapkan tidak ada tumpang tindih kepentingan antara bagian-bagian yang ada di dinas Kehutanan.
D. Manfaat Hutan Mangrove
Hutan
mangrove mempunyai banyak manfaat bagi umat manusia di dunia. Mengkonversi
lahan mangrove demi kepentingan kapitalis adalah sebuah kejahatan.
Fungsi dan manfaat Mangrove:
1. Sebagai
proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang. Menjaga garis pantai
agar tetap stabil dan kokoh dari abrasi air laut. Hutan mangrove mampu meredam
energi arus gelombang laut sekitar 60% (Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto
et al. (2003).
2. Pelindung
terhadap bencana alam. Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman
pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang
bermuatan garam melalui proses filtrasi.Keberadaan hutan mangrove dapat
memperkecil gelombang tsunami yang menyerang daerah pantai.
3.
Melindungi tebing/bibir sungai daerah pesisir dari proses erosi atau abrasi.
4. Menahan
dan menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam hari.
5. Mencegah
dan pengendali intrusi air laut yg mengandung garam (salt intrution) ke arah
darat. Mangrove berfungsi sebagai filter alam yg mengolah air laut menjadi air
tawar, sehingga tanah daratan daerah tsb menghasilkan sumber air tawar. Proses
instrusi sangat memungkinkan munculnya sumber air tanah di daerah yang
sebelumnya sangat gersang. Proses intrusi itu akan lebih cepat bila ditunjang
oleh penghijuauan di darat berupa reboisasi bukit-bukit gundul dengan tanaman
pohon yang berumur panjang dan daunnya tidak mudah gugur pada musim kemarau.
6.
Mempercepat pembangunan perluasan lahan pantai secara alamiah melalui proses
sedimentasi secara periodik sampai terbentuk lahan baru.
7.
Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air). Sebagai perangkap
zat-zat pencemar dan limbah, pengolah alamiah bahan-bahan limbah hasil
pencemaran industri dan kapal di laut.
8. Sebagai
penyerap polusi udara berupa karbondioksida (CO2).
9. Ekosistem
hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer
ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali
lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White, 1987). Oleh
karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi.
Daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa
menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang
menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan
lain-lain) (Naamin, 1990). Proses penyerapan karbon dioksida dikemukakan contoh
hasil oleh para petani di Jepang, yaitu bahwa hasil padi di sekitar hutan
mangrove 3 sampai 4 kali lebih banyak dari pada daerah lain.
10. Mangrove
sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya
(Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan
oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh
masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan
bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero,
bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk
pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula,
alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk
menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan
lain-lain.
11. Hutan
mangrove juga menghasilkan hawa yang sejuk dan mudah terjadi turunnya hujan.
Hawa itu ternyata bukan dinikmati manusia saja, tetapi juga oleh semua
margasatwa.
12. Penambat
racun. Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada
permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air.
Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan
racun secara aktif. Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan,
misalnya seperti jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300ppm Mn, 20 ppm
Zn, 15 ppm Cu (Darmiyati et al., 1995), dan pada daun Avicennia marina terdapat
akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm, Ni ³ 2,4 ppm (Saepulloh, 1995).
13.
Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses
pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan
racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada
partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan
lumpur erosi.
14. Penambah
unsur hara. Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan
terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara
yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
15.
Pengontrol penyakit malaria.
16. Habitat
tumbuhnya vegetasi berbagai jenis flora pasang-surut daerah pesisir. Mangrove
adalah sekumpulan pohon dan semak-semak yang tumbuh di daerah intertidal
(daerah pasang surut). Masyarakat lebih mengenal pohon bakau yang tumbuh di
pinggir pantai yang berawa-rawa. Mereka mengenal berjenis-jenis dan ada yang
daun serta buahnya dapat dimakan oleh manusia maupun hewan. Vegetasi hutan
mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman yang tinggi. Mangrove
dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu: mangrove sejati dan mangrove assosiasi.
Mangrove sejati sendiri terdiri dari 2 jenis yaitu mangrove mayor dan mangrove
minor. Mangrove mayor terdiri dari 34 jenis, sedangkan mangrove minor terdiri
dari 20 jenis. Mangrove assosiasi adalah pohon dan mempunyai banyak kesamaan
dengan pohon bakau, sehingga digabungkan juga sebagai kelompok bakau. Mangrove
assosiasi terdiri dari 60 jenis (P.B. Tomlinson, 1986, The Botany of Mangrove).
17. Sebagai
habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut. Habitat berbagai jenis
fauna: ikan, udang, kepiting bakau, sidat (anguilla), unggas/burung, serangga,
ular, biawak, buaya, dll.
18. Habitat
satwa langka. Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari
100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan
hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai ringan migran,
termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus).
19. Sebagai
sumber plasma nutfah dan sumber genetika.
20. Sebagai
penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi
invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian berperan
sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar.
21. Sebagai
kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground) bagi
udang.
22. Sebagai
daerah mencari makanan (feeding ground) bagi plankton.
23. Sebagai
kawasan untuk berlindung, bersarang, mencari makan, memijah dan berkembang biak
(feeding ground, breeding ground dan nursery ground) berbagai jenis fauna.
24. Sebagai
laboratorium alam pesisir yang hidup untuk penelitian dan pengembangan iptek
berbagai cabang ilmu pengetahuan. Sebagai tempat praktek lapang sumber belajar
bagi pelajar, mahasiswa dan stake holder.
25. Zona
konservasi sumberdaya alam terbarukan meliputi flora dan fauna pesisir.
26. Zona
wisata alam hutan pesisir. Sebagai kawasan wisata alam pantai untuk membuat
trail mangrove.
27.
Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, tekstil, makanan ringan.
Penyediaan bahan home industri masyarakat pesisir. Buah mangrove dapat
menghasilkan bahan untuk pembuat kuliner berupa Sirup Buah Mangrove, Dodol Buah
Mangrove, Kue/Roti Mangrove, Kerupuk mangrove.
28.
Penghasil bibit ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu
(nektar).
29.
Penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga.
30. Mangrove
jenis Nipah dapat menghasilkan bahan bakar Bio Premium dengan kualitas kelas
Pertamax dapat dikelola dengan teknologi industri kecil skala rumah tangga.
31.
Kesejahteraan kesempatan lapangan usaha bagi masyarakat pesisir. Jumlah
masyarakat pesisir Indonesia sekitar 60 juta orang.
32. Dapat
digunakan sebagai program penguatan usaha masyarakat pesisir dalam PNPM
Kelautan Perikanan Kehutanan dan Home Industri Mandiri berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan (Blue Economi).
BAB III
PENUTUP
Dalam pengembangan sistem mina hutan (sylvofishery) di kawasan ekosistem hutan mangrove ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan:
1. Rencana
pengembangan dan pengelolaan kawasan harus didasarkan atas azas kelestarian,
manfaat dan keterpaduan, dengan tujuan: menjamin keberadaan kawasan ekosistem
hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran proporsional,
mengoptimalkan aneka fungsi kawasan, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung
dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang
seimbang dan berkelanjutan, mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga
menciptakan ketahan sosial dan ekonomi.
2.
Revitalisasi fungsi kawasan hutan mangrove
3.
Pengembangan kegiatan mina hutan dengan poporsi 80% kawasan untuk hutan dan 20%
untuk uaha perikanan.
Manfaat dan
Fungsi Hutan Mangrove dari berbagai sudut pandang baik itu manfaat ekologi,
manfaat ekonomi, manfaat fisik, manfaat biologi dan manfaat kimia maupun
manfaat sosial sangat dirasakan dalam kehidupan masyarakat pesisir.
Penelitian-penelitian telah banyak dilakukan dan membuktikan bahwa hutan
mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan di pesisir.
Maka dari
itu, sebagai makhluk Tuhan yang beriman tentu kita harus menjaga Kelestarian
Hutan Mangrove dengan tmelakukan reboisasi-reboisasi yang mampu membawa
pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999a. Strategi national pengelolaan hutan mangrove di Indonesia. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Jakarta.
Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, 1999b. Sylvofishery, budidaya tambak-mangrove
terpadu. Majalah Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Jakarta.
Martosubroto,
P dan Sudrajat, 1974. A study on some ecological aspect and fisheries of Segara
Anakan in Indonesia. Publ. Of. Fish Rest. Inst. LPPL 1/73: 73-84.
Perhutani,
1993. Pelaksanaan program perhutanan sosial dengan sistem sylvofishery pada
kawasan hutan payau di pulau Jawa. Direksi Perum Perhutani, Jakarta.
Pemerintah
Republik Indonesia, 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Kopkar Hutan, Jakarta
Forumhijau.com
–

PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DAN
BERKELANJUTAN
Mata Kuliah :
Dasar-dasar Ilmu Lingkungan
Dosen :
Harifuddin S.pi.,M.si.

Oleh :
Nama : Suryaningsih
Nim : 1322050313
Kelas : B
AGRIBISNIS PERIKANAN/XXVI
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar